Fase E. Akhlak

Riya dan Penanggulangannya

Ingin terlihat baik, rajin, sempurna, dan saleh di hadapan umum merupakan tabi’at dasar manusia. Tabi’at dasar ini sangat sulit dilepaskan dalam diri manusia. Terlebih lagi, tidak ada manusia di dunia ini yang tidak ingin dipuji oleh orang sekitarnya. Bahkan untuk mendapatkan pujian itu, pencitraan diri sendiri pun dilakukan. Misalnya, pura-pura baik, dermawan, rajin, saleh ketika ada orang, diliput wartawan, atau pemotretan.

Dalam kamus Islam, prilaku semacam ini disebut riya. Riya berati mengerjakan perbuatan lantaran mengharap pujian dan sanjungan orang lain, bukan didasarkan keikhlasan. Sifat ini tentu tidak lah elok dan bertentangan dengan doktrin Islam yang mengajarkan keikhlasan. Apalagi jika riya itu terbawa dalam urusan ibadah. Amalan yang dilakukan tidak akan ada nilainya di mata Allah SWT jika dikerjakan atas dasar ingin memperoleh pujian dan sanjungan manusia. Menurut Izzuddin bin Abdus Salam, ketika riya menghantui orang yang mau atau tengah beribadah, ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan supaya amalannya tetap bernilai di mata Tuhan. Ketiga hal ini disebutkan dalam bukunya Maqashidur Ri‘ayah li Huquqillah.

“Terdapat tiga bentuk riya: pertama, orang yang terbesit riya sebelum mengerjakan amalan dan dia mengerjakan amalan tersebut hanya semata karena riya. Agar selamat, orang semacam ini harus menunda amalannya sampai timbul rasa ikhlas. Kedua, orang yang timbul di dalam hatinya riya syirik (mengerjakan ibadah karena ingin mengharap pujian manusia serta ridha Allah SWT). Orang seperti ini juga dianjurkan menunda amalan hingga benar-benar ikhlas. Ketiga, riya yang muncul di saat melakukan aktivitas/amalan. Orang yang dihadang riya di tengah jalan seperti ini, dianjurkan untuk menghalau gangguan itu sambil meneruskan amalannya. Kalau godaaan riya terus hadir, ia tidak perlu menggubrisnya. Insya Allah amalannya diterima karena tetap berpijak pada niatnya semula.”

Ketiga kondisi ini seringkali ditemukan ketika beraktivitas, terutama beribadah. Sekalipun niat awal mengerjakan ibadah hanya mengharap ridha Allah SWT, tetapi sering kali rasa ‘ujub dan riya tiba-tiba muncul menghantui perasaan kita. Orang yang rajin beribadah sekalipun bukan berati dapat terbebas begitu saja dari kondisi ini. Terkadang godaan datang silih berganti untuk menjerumuskan ibadah yang mereka lakukan pada jalan yang salah. Maka dari itu, dibutuhkan kesabaran dan usaha maksimal untuk mengalahkannya. Wallahu a‘lam

Sumber: https://islam.nu.or.id/ubudiyah/riya-dan-penanggulangannya-iksFP

Riya’ adalah dosa besar yang sering disebut juga syirik kecil. Riya adalah dosa hati yang sangat halus dan tidak terlihat oleh orang lain. Akan tetapi bahayanya sangat besar dan ancaman hukuamnya tidak main-main. Lalu seperti apakah riya dan apa batasanya?

Riya adalah memamerkan amal, ibadah atau prestasi kita kepada orang lain dengan tujuan mendapat pujian dan penghargaan darinya. Riya ini adalah perbuatan hati yang tercela, bahkan riya itu dianggap sebagai asy-syirk al-ashgar (syirik kecil). Suatu amal atau ibadah yang dilakukan secara riya itu niatnya ada dua; pertama: untuk Allah, dan kedua: untuk selain-Nya. Sebagai contoh, orang mendirikan shalat dengan niat karena Allah dan supaya dipuji calon mertua, atau seperti orang yang memberi infak kepada fakir miskin dengan niat karena Allah dan supaya disebut serta dipuji sebagai dermawan. Di sinilah riya itu disebut sebagai syirik kecil, karena orang yang melakukannya telah menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam amal atau ibadah tersebut. Orang yang riya itu berarti tidak ikhlas semata-mata karena Allah Swt dalam melakukan amal atau ibadahnya.

Allah tidak suka orang yang riya dan Dia akan membiarkan orang tersebut bersama sekutunya itu. Dalam hadits qudsi berikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal tersebut dengan tegas:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: “أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ”. (رواه مسلم)

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Aku Dzat yang paling tidak butuh kepada sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang di dalamnya itu ia menyekutukan Aku dengan selain-Ku, niscaya Aku tinggalkan ia bersama sekutunya itu”. (HR. Muslim)

عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ. قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ”. يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ اْلقِيَمَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ: “اِذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تَرَاؤُنَ فِي الدُّنْيَا، فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً”. (رواه أحمد)

Artinya: Diriwayatkan dari Mahmud bin Labid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh yang paling aku takuti atasmu adalah asy-syirk al-ashgar. Sahabat bertanya: Apa asy-syirk al-ashgar itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Riya. Allah ketika membalas perbuatan manusia pada hari kiamat berfirman: “Pergilah kepada mereka yang engkau riya untuk mereka di dunia, dan lihatlah apakah engkau mendapatkan balasan pada mereka”. (HR. Ahmad)

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan hakikat amalan yang dianggap di jalan Allah, yakni yang ikhlas dan diterima di sisi-Nya:

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “اَلرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، فَأَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللهِ؟” قَالَ: “مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ اْلعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ” (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Musa, ia berkata: Seorang laki-laki datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: Ada orang berperang karena fanatik, berperang karena berani dan berperang karena riya, yang manakah di antara mereka itu yang di jalan Allah? Jawab beliau: Barangsiapa berperang supaya agama Allah itu yang paling tinggi maka ia berada di jalan Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا ؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ”. (رواه مسلم)

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya orang pertama yang diadili pada hari kiamat ialah seorang laki-laki yang mati syahid, nikmat-nikmatnya dihadapkan kepadanya maka ia mengenalinya. Allah bertanya: Apa yang engkau lakukan dengannya? Ia menjawab: Saya berperang di jalan-Mu sampai saya mati syahid. Allah berfirman: Engkau bohong, tetapi engkau berperang supaya disebut sebagai pemberani dan sudah disebut begitu. Lalu ia diperintahkan, maka ditariklah ia di atas wajahnya lalu dicampakkanlah ia ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya dan ia membaca al-Quran. Lalu didatangkanlah ia dan dihadapkanlah kenikmatan-kenikmatannya sehingga ia mengenalinya. Allah bertanya: Apa yang engkau lakukan dengannya? Ia menjawab: Saya mempelajari ilmu dan mengajarkannya dan saya membaca al-Quran di jalan-Mu. Allah menjawab: Engkau bohong, tetapi engkau mempelajari ilmu supaya disebut sebagai seorang ilmuwan dan engkau membaca al-Quran supaya disebut sebagai seorang qari dan sudah disebut begitu. Lalu ia diperintahkan, maka ditariklah ia di atas wajahnya lalu dicampakkanlah ia ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang dilapangkan dan diberi berbagai macam harta kekayaan oleh Allah. Lalu didatangkanlah ia dan dihadapkanlah kenikmatan-kenikmatannya sehingga ia mengenalinya. Allah bertanya: Apa yang engkau lakukan dengannya? Ia menjawab: Tidak ada jalan yang Engkau suka untuk saya berinfak di dalamnya melainkan saya telah berinfak untuk-Mu. Allah berfirman: Engkau bohong, tetapi engkau melakukan hal itu supaya disebut dermawan dan sudah disebut begitu. Lalu ia diperintahkan, maka ditariklah ia di atas wajahnya lalu dicampakkanlah ia ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Hadits-hadits di atas memberikan petunjuk agar kita ikhlas, yakni melakukan suatu amal atau ibadah semata-mata hanya karena dan untuk Allah Swt. Al-Fudhail berkata: “Meninggalkan suatu amal karena orang itu riya, melakukan suatu amal karena orang itu syirik, dan ikhlas ialah jika Allah menghindarkanmu dari keduanya itu”. Dan al-Junaid juga berkata mengenai ikhlas: “Ikhlas itu adalah rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Ia tidak diketahui malaikat sehingga ia menuliskannya, tidak diketahui setan sehingga ia merusakkannya, dan tidak diketahui hawa nafsu sehingga ia mengaturnya”.

Dalam mengerjakan atau meninggalkan sesuatu, niat kita harus ikhlas karena Allah Swt. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ: “سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ” (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung kepada niat, dan bagi seseorang itu apa yang diniatkan. Barangsiapa hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk dunia supaya ia mendapatkannya atau untuk perempuan supaya dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan tujuan hijrahnya itu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No.21, 2010

Seorang hamba yang rajin shalat lima waktu, membaca Al-Quran, puasa, dan bersedekah pada hakikatnya mereka mendapatkan keutamaan atau anugerah dari Allah. Tanpa hal itu, manusia tak bisa berbuat apa-apa. “Jangan ujub dengan ketaatan, karena taatmu adalah anugerah dari Allah SWT. Manusia tak pantas memiliki sifat ujub,” katanya dalam kajian rutinan di Pesantren Al-Amanah, Senin (25/3). Alumni Pondok Pesantren Madrasatul Quran ini mengatakan pentingnya setiap manusia mensyukuri setiap nikmat yang dianugerahkan oleh Allah. Karena tidak semua manusia mendapatkan hal tersebut. Namun, bagi manusia yang belum diberikan anugerah oleh Allah juga tak boleh berputus asa. Tetap lah berusaha menggapai ridlo Allah. Bahkan bila diuji oleh Allah dalam berbagai masalah maka hendaknya mengambil sisi positif dari peristiwa tersebut. Sebagai sarana untuk introspeksi diri.

“Jangan mengecilkan nikmat Allah hingga kita lupa bersyukur. Dan jangan juga mudah mengeluh saat kau di uji. Karena banyak hikmah dalam ujian yang diberikan Allah kepada hamba-Nya untuk muhasabah diri,” ujar Kiai Kholiq. Ia menjelaskan, jika ingin selamat dari godaan hawa nafsu dalam beribadah maka kuncinya adalah mengikuti rambu-rambu Allah yang sudah dijelaskan di Al-Quran dan hadits nabi. Dengan begitu manusia pasti akan sampai dengan selamat. Karena hawa nafsu manusia sifatnya sering membuat tersesat.

“Dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athoilah dijelaskan, لايخاف عليك ان تلتبس الطرق عليك وإنما يخاف عليك من غلبة الهوى عليك Artinya, bukan ketidak jelasan jalan yang dikhawatirkan dari dirimu, yang dikhawatirkan adalah menangnya hawa nafsu atas dirimu. Ikuti saja ketentuan dari Allah maka kita akan selamat,” pungkas Rektor Institut Agama Islam Bani Fattah Tambakberas ini

Sumber: https://www.nu.or.id/daerah/larangan-takabbur-dalam-beribadah-TdCBg

HASAD, HASUD, DAN HANCUR

 hasad dan hasud tampaknya menjadi perkara  sepele atau sederhana, tetapi menjadi demikian besar dampak atau pengaruh negatifnya. Mari kita simak secara seksama Firman Allah:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ.  مِن شَرِّ مَا خَلَقَ.  وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ.   وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ.  وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ.
Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
       Ayat tersebut menggambarkan bahwa antara dengki, hasad, hasud, dan sihir, adalah kejahatan yang sudah lama ada, dan menghancurkan semua, baik yang menjadi kurban, maupun pihak yang melakukannya. Karena akal, hati, dan hidupnya sudah dikuasai oleh kejahatan hasad, yang menghasud orang lain. Dan ujungnya adalah menghancurkan kemuliaan martabat manusia dan kemanusiaan ini.
       Manusia diciptakan oleh manusia, seperti halnya makhluk lainnya, karena disertai dengan mati dan hidup, adalah untuk berkompetisi, berkontestasi, dan ujungnya bisa saling mematikan. Meskipun sebenarnya kompetisi dan kontestasi bagi manusia adalah bagian dari sunnatuLlah yang bertujuan agar manusia memiliki amal perbuatan yang terbaik (QS. Al-Mulk:2).
       Dalam kajian antropologi, disebut dengan homo homini lupus. Sebuah kalimat bahasa latin, artinya, manusia adalah serigala bagi sesama manusianya (Plautus dalam Asinaria (195 SM lupus est homo homini) (lihat id.m.wikipedia.org). Atau, manusia adalah serigalanya manusia.  Dalam bahasa sederhananya, manusia sering “memangsa” atau menikam sesama manusia lainnya.
       Manusia ketika kehilangan jatidiri kemanusiaannya, ia akan melakukan kekejaman  dan tega “memangsa” saudaranya sendiri. Bahkan kita sudah sering disuguhi berita kriminal, pembunuhan dengan mutilasi, dan lain-lain. Dulu ketika “masa kekuasaan” begitu otoriter, sempat muncul “tutur budaya” atau baca unen-unen (Jawa), “orang miskin yang dipikirkan, besok makan apa, atau lebih menyedihkan besok apa makan? Maka orang yang berkuasa pertanyaannya adalah, besok makan siapa?”
       Saudaraku, sifat dan sikap hasad dan hasud, bisa menimpa siapa saja, jika tidak terbangun fondasi iman, Islam, dan ihsan. Boleh jadi diri kita, belum bersih benar dari sifat dan sikap jahat tersebut. Tetangga mendapatkan rizqi, kota sakit hati, lalu dengan enteng menuduh tetangga “paling ngutang”, padahal seandainya benar, mereka sendiri yang mengangsur dan membayarnya. Tetangga atau teman dipromosikan pada jabatan tertentu, dibilang “paling nyogok” atau “nyuap”. Ada teman mutasi pada jabatan yang “lebih menjanjikan”, dibilang “pasti ada yang memback-up” alias “backingi”. Ada teman atau tetangga yang kekayaan dan pola hidupnya berubah dan meningkat drastis, dibilang “paling mengambil pesugihan”, dan masih banyak lagi.
       Sifat dan sikap hasad dan hasud, juga bisa menghinggapi, oknum lembaga yang boleh dikatakan “struktur lembaga atau bahkan negara”. Ramainya film pendek “Kau adalah Aku yang lain” yang memenangi Police Movie Festival 2017, yang mengundang kontroversi, hemat saya, adalah bagian dari sifat hasad dan hasud “struktural”, yang justru memicu kegalauan dan kegelisahan, bukan hanya bagi kelompok Muslim, tetapi juga organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang tersinggung, karena isinya tidak sesuai SOP IDI. Anehnya lagi, dewan juri memilihnya sebagai penerima award.
      ISIS atau Islamic State for Irak and Syria, adalah bagjan dari skenario besar untuk menghasud dunia, agar citra dan branding Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan menarik para akademisi dan pencari agama yang benar baik di daratan Eropa, Rusia, dan dunia lain, menjadi rusak, dengan tampilan ISIS yang mengaku pengikuti Islam Sunni tetapi prilaku mereka yang brutal, tidak manusiawi, dan bahkan anti prikemanusiaan. Dan boleh jadi ke depan, sifat dan prilaku hasad dan hasud ini, masih akan terus terjadi dan dirancang dengan rapi.
       Saudaraku, Rasulullah saw pernah mengingatkan, “akan datang suatu masa, di mana orang yang berkomitmen dengan agamanya, laksana menggenggam bara api di tangannya” ini sudah berada di depan mata kita. Karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali kembali kepada panduan dan petunjuk Al-Qur’an bagi yang Muslim, dan kembali pada ajaran kitab suci yang benar, bagi saudara-saudaraku yang beragama lain. Mari kita bangunkan hati dan fikiran kita, terutama saudara-saudaraku yang sedang menerima amanat jabatan apapun posisi Anda.
       Hidup di dunia ini, hanya sebentar sekali. Ibarat “orang yang melakukan perjalanan panjang, hanyalah “mampir ngombe” atau “singgah untuk minum” dan hatus melanjutkan perjalanan panjang, untuk menuju kehidupan abadi yang dirindukan oleh orang-orang yang berharap kehidupan bahagia yang sejati, yakni akhirat. Akhirat bukan hayalan atau ilusi, tetapi kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih abadi (QS. Al-A’la:17, adl-Dluha:4).
       Saudaraku, Rasulullah saw mengingatkan, kita dilarang hasad dan hasud kecuali dalam dua hal, pertama, iri pada orang yang telah diberi Allah (hafalan) al-Qur’an, hingga ia membacanya siang dan malam. Kedua, iri pada seseorang yang dikaruniai Allah harta kekayaan, lalu dibelanjakan harta itu siang dan malam di jalan Allah” (Riwayat al-Bukhari, 4637, Muslim).
       Dalam riwayat al-Bukhari, “Tidak boleh mendengki kecuali terhadap dua hal, (terhadap) seorang yang Allah berikan harta lalu dia pergunakan harta tersebut di jalan kebenaran, dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain” (No. 71, 1320).
       Karena itulah, mari kita berjuang atau berikhtiar, agar diri kita baik sebagai individu, warga masyarakat, dan warga bangsa dan negara, apalagi yang sedang diamanati jabatan baik sebagai aparat sipil negara, angkatan, kepolisian, pedagang, pengusaha, dan apapun profesi kita, untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sifat dan sikap hasad dan hasud. Karena itu hanya akan menghancurkan diri Anda dan orang-orang yang menjadi korban dari kejahatan dan kekejaman sifat dan sikap hasad dan hasud tersebut.
Mari kita sadarkan dan buang ego kita. Sebentar lagi mungkin Anda akan jatuh sakit, dan pasti membutuhkan orang lain. Tidak lama lagi, Anda tidak akan bisa lagi naik mobil yang termewah sekalipun, karena hanya mobil Ambulance atau kereta jenazah yang sudah menjadi SOP ujung perjalanan manusia. Anda tidak lagi bisa meremehkan saudara-saudara kita yang menggali kubur, karena justru mereka yang berjasa menyiapkan “rumah masa depan” kita, untuk menunggu datangnya hari kebangkitan, sebelum kita dihisab di akhirat nanti.
       Rasulullah saw mengingatkan pada kita, agar menjadi manusia yang terbaik. Caranya, kita berbuat yang terbaik dan sebanyak-banyaknya bermanfaat bagi orang lain”. Dalam bahasa Thomas Hobes dalam De Cive (1651), adalah Homo Homini Socius. Artinya, manusia adalah teman bagi sesama manusia. Meminjam bahasa Seneca, manusia adalah sesuatu yang sakral bagi sesamanya.
       Marilah kita resapi dan renungkan sabda Rasulullah saw:

عن عبد الله بن عمر -رضي الله عنهما- عن النَّبيّ -عليه الصَّلاة والسَّلام- أنَّه قال: (أحبُّ الناسِ إلى اللهِ أنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وأحبُّ الأعمالِ إلى اللهِ عزَّ وجلَّ سُرُورٌ يدْخِلُهُ على مسلمٍ، أوْ يكْشِفُ عنهُ كُرْبَةً، أوْ يقْضِي عنهُ دَيْنًا، أوْ تَطْرُدُ عنهُ جُوعًا، ولأنْ أَمْشِي مع أَخٍ لي في حاجَةٍ أحبُّ إِلَيَّ من أنْ اعْتَكِفَ في هذا المسجدِ، يعني مسجدَ المدينةِ شهرًا، ومَنْ كَفَّ غضبَهُ سترَ اللهُ عَوْرَتَهُ، ومَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ، ولَوْ شاءَ أنْ يُمْضِيَهُ أَمْضَاهُ مَلأَ اللهُ قلبَهُ رَجَاءً يومَ القيامةِ، ومَنْ مَشَى مع أَخِيهِ في حاجَةٍ حتى تتَهَيَّأَ لهُ أَثْبَتَ اللهُ قَدَمَهُ يومَ تَزُولُ الأَقْدَامِ، وإِنَّ سُوءَ الخُلُقِ يُفْسِدُ العَمَلَ، كما يُفْسِدُ الخَلُّ العَسَلَ)”.

Riwayat dari Abdillah bin Umar ra., Nabi saw bersabda: “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lainnya), amal perbuatan yang paling dicintai oleh Allah, adalah membahagiakan orang Islam lainnya, atau membukakan bebannya, melunaskan utangnya, menghilangkan kelaparannya, membantu kebutuhan saudaranya lebih dicintai daripada i’tikaf di masjid (masjid Madinah) selama satu bulan, barang siapa bisa menahan marahnya Allah akan menutup auratnya, orang yang dapat menahan emosinya, seandainya melewatkannya, Allah akan memenuhi hatinya dengan pengharapan hati kiamat, barangsiapa berjalan bersama dan menyenangkan saudaranya, Allah akan menetapkan kedua telapak kakinya, di saat para telapak kaki pada bergeser-geser, dan seburuk-buruk akhlak adalah merusak amal perbuatan, seperti cuka merusak madu” (Riwayat al-Albani).
       Mengakhiri renungan ini, marilah kita ikuti nasihat dan petunjuk Rasulullah saw, mari kita buang jauh-jauh sifat dan sikap hasad, hasud, karena itu hanya akan menghancurkan diri kita sendiri dan juga orang lain. Terlebih Anda yang menerima amanat rakyat, berlakulah adil, insyaa Allah dengan sikap adil dan keadilan kita masing-masing kita akan merasakan ketenteraman dan kebahagiaan. Sebelum menyesal tiba, dan sebelum ajal menjemput kita. Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita ke jalan yang benar yang diridlai-Nya.

Hasad dan buruk sangka merupakan dua penyakit hati yang idak asing lagi kita dengar. Hasad merupakan kata dari bahasa Arab yang berarti hasud, iri hati, dengki. Dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat, hasad lebih dikenal dengan istilah “hasud” atau “dengki”. Dengki atau hasad merupakan rasa atau sikap tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain, dan berusaha untuk menghilangkan kenikmatan tersebut dari orang yang di dengki, baik dengan maksud agar kenikmatan itu berpindah kepada dirinya atau tidak. Pengertian lain dari dengki adalah keinginan seseorang untuk melihat kebangkrutan orang lain yang sudah sukses, kendati pelakunya tidak mampu mencapai kesuksesan (nikmat besar) yang sama seperti orang lain.

Buruk sangka juga berasal dari bahasa Arab yaitu Su’udlanSu’, secara bahasa memiliki dua arti. Pertama, segala sesuatu yang buruk, kebalikan dari baik. Kedua, setiap sesuatu yang menghalangi manusia dari urusan-urusan dunia dan akhirat, baik berasal dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Sedangkan kata dlan secara bahasa memiliki banyak arti, antara lain: ragu, tuduhan, perkiraan atau pengetahuan tanpa keyakinan, dan keyakinan itu sendiri.

Secara istilah su’udlan adalah mengira atau menyangka orang lain memiliki satu sifat buruk dan menuduhnya dengan segala kejelekan tanpa bukti. Berprasangka buruk wajib dilakukan terhadap orang yang melakukan kemaksiatan dengan terang-teranganm merintangi jalan kebaikan, dan tidak memiliki komitmen yang jelas dalam agama. Buruk sangka biasanya berupa tudingan seseorang tanpa didasarkan pada bukti yang mendukung kebenarannya.

Manusia yang terkena penyakit dengki dalam hatinya akan diikuti sikap buruk sangka melihat perkembangan orang lain yang didengkinya. Orang yang dengki tidak senang melihat orang lain mendapatkan kenikmatan. Ia berupaya melakukan kejahatan kepada orang tersebut agar kenikmatan yang diinginkan itu berpindah kepada dirinya, dan merasa senang apabila orang yang dirampas kebahagiaannya itu menderita. Tentunya si pendengki itu akan mencari-cari informasi dari mana materi yang didapatkannya, apakah diperoleh dengan cara yang halal ataukah haram. Biasanya, para pendengki sudah melakukan kedengkiannya, maka ia akan berupaya menjatuhkan orang yang didengkinya dengan berbagai macam cara tanpa memperdulikan akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya.

Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk meminta perlindungan dari hasud dan orang hasud, sebagaimana firman-Nya:“Dan Sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al-Quran dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila’.” (QS. Al-Qalam [68]: 51)

Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”. (QS. Al-Falaq [113]: 5)

Begitu pula dengan buruk sangka kepada sesama kaum Muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka (kecurigaan), karena sebagian dari berprasangka itu dosa dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat [49]: 12)

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW bersabda: “Berhati-hatilah kalian dari buruk sangka, sesungguhnya buruk sangka adalah sedusta-dustanya cerita/berita. Janganlah menyelidiki, janganlah memata-matai hal orang lain, janganlah tawar-menawar untuk menjerumuskan orang lain, jangan saling menghasud, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan jadilah kalian sebagai hamba Allah yang bersaudara. (HR. Bukhari)

Hasud terbagi menjadi dua, yaitu: pertama, hasud yang diperbolehkan; kedua, hasud yang diharamkan. Hasud yang diperbolehkan adalah bersaing meraih kesuksesan (munafasah). Dimana seseorang berkeinginan dapat menyaingi orang yang didengkinya dan tidak senang berada dibawahnya, namun dirinya tidak menginginkan pesaingnya mendapat kejelekan. Sedangkan hasud yang diharamkan timbul dari takabur, ujub, permusuhan, dendam, riya’, cinta duniawi yang berlebihan dan kedudukan. Seseorang yang memiliki karakter jiwa semacam ini tidak mau ada orang yang lebih luhur dari dirinya. Penyebab timbulnya rasa hasud semacam itu adalah karena pelitnya jiwa terhadap kebaikan yang dirasa oleh hati seseorang.

Ada beberapa faktor penyebab yang memicu merebaknya hasad dan buruk sangka:

  • Faktor lingkungan

Lingkungan memberi pengaruh yang cukup besar bagi lahirnya sikap buruk sangka dan hasad. Lingkungan bisa dari keluarga, masyarakat, tempat bekerja, sekolah, dan lain sebagainya. Lingkungan yang kejam, kotor, dan tidak sehat seringkali memberi pengaruh kuat bagi lahirnya kebiasaan penyakit ini. Dengan lingkungan yang ada dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan. Jika orang yang membenci tidak mampu melampiaskan kebenciannya maka ia ingin agar waktu yang akan membalasnya, dan mungkin akan mengembalikan kepada kehormatan dirinya di sisi Allah SWT; jika musuhnya mendapat musibah, ia bergembira atas musibah itu, tetapi bila musuhnya mendapat nikmat, ia tidak menyukainya karena bertentangan dengan keinginannya.

  • Keyakinan yang salah

Keyakinan yang salah bisa melahirkan hasad dan buruk sangka. Termasuk dalam kategori ini adalah ideologi atau aqidah yang salah. Seperti berburuk sangka kepada Allah, dengan menuduh-Nya tidak adil. Merasa keberatan jika orang lain mengunggulinya. Jika sebagian orang yang setingkat dengan dirinya mendapatkan kekuasaan, ilmu dan harta, maka ia khawatir orang tersebut akan bersikap sombong kepada dirinya, sementara itu dia sendiri tidak dapat mengunggulinya, dan jiwanya tidak kuasa menanggung kesombongan dan kebanggaannya terhadap dirinya. Tujuannya bukan untuk bersombong, tetapi menolak kesombongannya. Sebab ia menerima kesejajarannya dengan dirinya, namun tidak bisa menerima jika ia mengunggulinya.

  • Kepentingan Politik

Kepentingan-kepentingan politik juga menjadi pemicu lahirnya sikap buruk sangka. Mencintai dan mencari kedudukan untuk dirinya tanpa mencapai suatu tujuan. Obsesi ingin selalu memimpin yang disertai ambisi untuk merebut pucuk pimpinan adalah sarana yang paling rawan munculnya kedengkian. Bahkan bisa menjadi awal hancurnya negara dan umat. Karena itu, dalam konteks kepemimpinan umat, orang yang pertama kali terbenam ke dalam neraka adalah ulama-ulama pendengki yang selalu berambisi menjadi pemimpin dan mengejar popularitas. Munculnya kedengkian dalam hati para ulama dan pemimpin umat sedikit demi sedikit akan menghapuskan cita-cita luhur untuk mewujudkan ittihadul ummah; persatuan umat dalam cahaya Islam.

  • Estimasi Pertahanan Diri

Kadang, orang punya prasangka buruk demi kepentingan mempertahankan diri. Rasa aman yang ingin diperoleh seseorang sering kali diwujudkan dengan membuat lingkar pengaman atas semua orang yang dihadapi. Takut tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Hal ini berkaitan dengan orang-orang yang memperebutkan satu tujuan. Masing-masing orang mendengki pesaingnya dalam memperoleh nikmat yang akan membantunya untuk memperoleh tujuannya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas XI Bab 2 Hidup Nyaman dengan Perilaku Jujur

Tari Lenggang Patah Sembilan: Tari Klasik Kesultanan Serdang di Sumatra Utara

Metode dan Teknik Pembelajaran diposkan oleh Sapri